Oposisi Harus Dibangun Pascapemilu

Peneliti politik asal Australia, Max Lane mendorong agar masyarakat Indonesia berorganisasi membangun kekuatan lebih dari sekadar demonstrasi massa pasca klaim kemenangan calon Presiden dan Wakil Presiden, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka dalam Pemilihan Umum 14 Februari 2024 lalu. Hal itu penting, menurut Max, guna mengimbangi konsolidasi rezim oligarki dan dinasti yang selama ini memanfaatkan ruang demokrasi pasca pemerintahan Presiden Soeharto.

“Demokrasi di Indonesia menyempit  karena ada kekuatan untuk menyempitkan dan mereka mau menggunakannya,” kata Max dalam diskusi publik bertajuk Masa Depan Demokrasi dan Hak Asasi Manusia Pascapemilu yang digelar oleh Jaring.id atas dukungan Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN) dan Amnesty International Indonesia, Jumat, 16 Februari 2024.

Selain Max, diskusi publik yang digelar di Perpustakaan Nasional, Jakarta ini juga dihadiri pembicara lain, yakni peneliti politik internasional Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Irine Hiraswari Gayatri dan Deputi Direktur Amensty International Indonesia, Wirya Adiwena.

Sekitar 2,5 jam, Max menerangkan bahwa masa 10 tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo berpengaruh kuat pada penyempitan ruang demokrasi karena Indonesia sama sekali tidak memiliki kelompok oposisi yang kuat, baik dalam pemerintahan maupun Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Prabowo Subianto yang pada pemilihan presiden 2019 melawan Jokowi, akhirnya bergabung dalam kabinet menjadi menteri pertahanan.

Salah satu yang juga menjadi sorotan ialah saat mantan aktivis 1990-an, seperti Budiman Sudjatmiko menyeberang ke kubu Prabowo, orang yang dianggap bertanggung jawab dalam penculikan para aktivis prodemokrasi. “Tidak ada oposisi dan mereka semua satu visi,” ungkap Max.

Menurut Max, Indonesia tidak bisa tidak untuk memanfaatkan ruang demokrasi secara maksimal seperti negara-negara demokrasi di dunia. Masyarakat perlu segera membangun kekuatan politik alternatif atau gerakan opisisi yang bisa membayangi jalannya pemerintahan yang akan datang.

“Megawati, Susilo Bambang Yudhoyono, dan Jokowi adalah orang merawat satu sistem yang membawa ketimpangan demokrasi. Saat ini Prabowo yang akan merawat sistem itu. Dari hal itu harus berjuang merebut pemerintahan. Jangan berharap mengubah Indonesia kalau tidak kerja keras dan sanggup berkorban. Itu the truth, jangan mengharap perubahan kalau tidak melakukan itu,” tegasnya.

Hal yang sama disoroti Wirya Adiwena dari Amnesty International Indonesia. Ia mengkhawatirkan hasil pemilihan umum 2024 lalu melanggengkan impunitas dan menguatkan konsolidasi kekuatan politik yang dibangun Jokowi. “Kalau Prabowo-Gibran pasti melanjutkan program Jokowi,” ujar Wiradi.

Praktik kekuasaan yang dipraktikkan rezim saat ini, menurut dia, tidak hanya menciptakan impunitas tetapi juga melahirkan kasus kekerasan hak asasi manusia (HAM) baru. Berdasarkan catatan Amnesty International selama lima tahun terakhir terdapat 93 kasus kekerasan dan kriminalisasi terhadap pembela HAM. “Kasus kekerasan fisik dan intimidasi pembela HAM terjadi,” jelasnya.

Puluhan kasus tersebut antara lain terjadi dalam unjukrasa penolakan Omnibus Law, Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana pada Januari 2020 lalu dan tragedi Kanjuruhan, Kabupaten Malang yang mengakibatkan 130 lebih korban meninggal. “Kekerasan berlebihan oleh aparat. Pentungan dan penggunaan gas air mata. Terhadap seseorang yang tidak berbuat apa-apa. Kekerasan berlebihan digunakan terhadap orang kritis,” ujarnya.

Apabila Prabowo dan Gibran terpilih sebagai presiden dan wakil presiden 2024-2029, Wirya memprediksi ruang kebebasan sipil kian menyempit. Meski begitu, ia berharap masyarakat tetap bersuara lantang mengkritik pemerintahan. “Kebebasan sipil dibutuhkan untuk iklim yang sehat di suatu negara. Ini membuat saya berharap. Bagaimana kantong kepedulian demokrasi ini tidak berhenti pada diskusi dan aksi,” ujarnya.

Sementara itu, peneliti politik internasional BRIN, Irine menilai pelanggengan kekerasan dan penyempitan ruang demokrasi tak terlepas dari kekuatan oligarki yang kini menduduki pemerintahan dan legislatif. “Apakah akan ada ada kontrol terhadap oligarki? Ini melanjutkan apa yang sudah dilakukan Jokowi,” ia bertanya-tanya.

Ia sependapat dengan Max yang menyebut bahwa kekuatan masyarakat sipil perlu dibangun agar dapat merebut ruang demokrasi yang kini dimanfaatkan oleh peguasa. “Kita harus rebut ruang kebebasan sipil,” tegasnya.

Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN) adalah organisasi nirlaba yang didirikan tahun 2006, bergerak dalam isu pemberdayaan jurnalis dan media. 

 

Narahubung: Agetha Tri Lestari (agetha@ppmn.or.id)