Kebebasan Pers Merosot, Jurnalis Asia Tenggara Terancam

26 Maret 2024

JAKARTA, 26 Maret 2024 – Jurnalis dan aktivis prodemokrasi seringkali menghadapi risiko akibat pembatasan kebebasan pers dan kebebasan berpendapat. Risiko ini berupa intimidasi oleh aparat negara, serangan digital oleh buzzer politik, ancaman fisik dari kelompok bersenjata, maupun  tindak kekerasan seksual pada jurnalis perempuan Risiko ini tidak hanya dihadapi oleh para jurnalis dan aktivis di Indonesia, tapi juga jurnalis dan aktivis di  Filipina dan Malaysia dalam satu dekade terakhir.

Risiko pada jurnalis perempuan berlipat. Diskriminasi yang unik dan kekerasan menjadi bagian dari realitas jurnalis perempuan. “Tantangan ini tidak hanya berasal dari internal redaksi, namun juga dari eksternal. Pengalaman kekerasan seksual telah menjadi kenyataan pahit bagi sejumlah jurnalis perempuan selama berkarir dalam dunia jurnalistik,” ungkap Sekretaris Jenderal Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia Ika Ningtyas dalam Talk Show Breaking the Silence: Pencegahan dan Penanganan Kekerasan terhadap Jurnalis Perempuan di Zona Berbahaya yang dihelat Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN) bersama Purplecode Collective di kantor AJI Indonesia di Jakarta, Selasa 26 Maret 2024. 

Sayangnya, sistem dukungan yang efektif untuk mencegah dan mengatasi kekerasan seksual masih belum diimplementasikan secara luas di semua organisasi media. Padahal pencegahan terhadap kasus kekerasan perempuan dapat dilakukan sejak dini. Hal ini dapat dimulai dari  pelatihan yang dilakukan oleh organisasi media yang berfokus pada pencegahan dan mitigasi kekerasan. Juga melalui pelatihan keamanan holistik yang dapat menjadi bekal pertolongan pertama dalam menghadapi kekerasan. 

Dalam kesempatan sama, Dinda Yura dari Purplecode Collective menyebut  jurnalis perempuan juga rentan terhadap serangan yang terkait dengan seksualitas mereka. Mulai dari seksisme, diskriminasi, objektifikasi, hingga pelecehan dan kekerasan seksual. “Jurnalis perempuan mengalami perlakuan tersebut tidak hanya dari narasumber, tetapi bahkan di lingkungan media sendiri,” ungkapnya. 

Sebelumnya, Purplecode Collective bersama dengan PPMN menggelar focus groups discussion (FGD) yang merupakan rangkaian Program Safe Sister pada Februari 2024. FGD tersebut  diikuti 23 perempuan berlatar belakang  aktivis prodemokrasi dan jurnalis.

“Dalam FGD, teman-teman sepakat bila collective care sangat penting dalam menjawab ancaman yang dialami perempuan, collective care membuat perempuan tidak merasakan sendirian, dan kesejahteraan jiwa tidak ditanggung individu, tapi ditanggung bersama-sama,” jelas Dinda.

Masih dalam kesempatan yang sama, Juan Carlo Gontingan, jurnalis senior Rappler menceritakan kisah-kisah langsung yang dialami para jurnalis perempuan di Filipina, termasuk kisah Maria Ressa, pendiri dan CEO Rappler. Maria dikriminalisasi dengan tuduhan penggelapan pajak. Meskipun dinyatakan bebas, kriminalisasi terhadap Maria Ressa terkait dengan pekerjaan jurnalistik yang ia lakukan memberikan alarm bahwa kebebasan pers di Filipina berada dalam ancaman. 

Gontingan mengatakan kebebasan pers di Filipina mengalami penurunan selama satu dekade terakhir. ia juga menekankan banyaknya banyak jurnalis perempuan di filipina mengalami kekerasan. Maria Ressa dan beberapa jurnalis Rappler perempuan mengalami kekerasan berulang kali ketika meliput isu-isu yang mengkritik pemerintahan. Namun menariknya jurnalis perempuan di Filipina sangat berani menyuarakan kebebasan pers, meskipun risiko keamanan  dan tantangannya sangat tinggi.

Alyaa Alhadjri, jurnalis senior Malaysiakini dan Aktivis Gerakkan Media Merdeka Malaysia (GERAMM) yang juga menjadi pembicara dalam diskusi ini,  mengungkapkan bahwa selama 15 tahun ia menjadi jurnalis,  banyak sekali tantangan yang dihadapi. “Mulai dari intimidasi hingga diskriminasi ketika melakukan liputan,” ujarnya.

Di Malaysia, menurutnya, meskipun ada kerangka hukum yang relatif kuat, jurnalis dan aktivis sering dihadapkan pada hukuman yang keras, termasuk penahanan tanpa dakwaan dan tuduhan kriminal yang dipolitisasi. Penolakan dari masyarakat yang diliput seringkali menjadi hambatan bagi jurnalis yang ingin mengungkapkan kebenaran. Jurnalis kerapkali dituding tidak netral atau bahkan dituduh bersekongkol dengan pihak tertentu.

Direktur Eksekutif PPMN Fransisca Ria Susanti dalam kesempatan terpisah menyampaikan bahwa ancaman keamanan atau pun keselamatan terhadap jurnalis, khususnya jurnalis perempuan, kerapkali tidak hanya muncul dari luar, tapi juga dari dalam. “Untuk itu support dari manajemen kantor, sesama rekan kerja, maupun keluarga juga penting dilakukan untuk menciptakan lingkungan yang sehat dan aman bagi jurnalis perempuan,” katanya.

Workshop ini masih dalam rangkaian kegiatan Ramadan Talks dan kampanye kegiatan PPMN dalam program Ukraine Press Tour. Dalam program ini, PPMN bertindak sebagai pelaksana proyek bekerja sama dengan Ukraine Crisis Media Center, sebuah lembaga nonprofit di Kyiv, Ukraina. Program ini ditujukan untuk membuka wacana publik khususnya di Asia atas dukungan lembaga donor Open Society Foundation (OSF) melalui pelibatan media dan jurnalis dalam meliput perang Ukraina-Rusia dan dampaknya bagi kemanusiaan.***


Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN) adalah organisasi nirlaba yang didirikan tahun 2006, bergerak dalam isu pemberdayaan jurnalis dan media. 

Narahubung: Agetha Tri Lestari (agetha@ppmn.or.id)