Suara Kritis Jurnalis Noken Cilik

Enjelita Benselina Meho atau akrab disapa Lita, berusia 13 tahun. Gadis manis berlesung pipit itu lincah memanjat pohon jambu di halaman Rumah Bina (LSM lokal) yang menjadi rumah keduanya. Di leher Lita, menggantung noken mungil yang berisi kacang rebus, mulutnya terus mengunyah. “Papa su meninggal, Mama jauh di Keerom. Di sini ikut Pater Jon, “serunya.

Postur tubuhnya tinggi melampaui anak seumurnya. Dia kekanakan, tapi sangat mandiri, pemberani, dan cerdas. Sesekali Lita gemar nimbrung di tengah diskusi orang-orang dewasa. “Nah, itulah awalnya saya ikut gabung Jurnalis Noken, ikut saja diskusi kakak-kakak, “katanya. 

Lita menulis apapun yang terlintas dipikirannya. Sejak menjadi jurnalis warga, dia paham kaidah jurnalistik dan senang berinteraksi dengan narasumber. Lita dapat membedanya informasi yang berbasis fakta dan non fakta seperti hoax. 

Ide yang ditulis Lita pun sederhana, tak jauh dari kehidupan sehari-hari, seperti persoalan disekolahnya SMP YPPK St. Thomas Wamena. Kesadaran kritis Lita tumbuh seiring waktu. Sampai suatu pagi, Lita ingin mewawancarai Ibu Kepala Sekolah, Theresia Madaun. Tapi sayang, Kepala Sekolah saat itu tidak hadir menjadi pemimpin upacara, dan digantikan oleh Guru Bahasa Indonesia kelas 8 C-D bernama Emanuel Sing.

Lantas Lita mengajukan pertanyaan kepada Emanuel, “Apa harapan Bapak untuk siswa-siswi di seluruh Wamena?” Setelah melakukan rentetan wawancara dengan direkam melalui tape recorder, mulai Lita menyalin transkrip dan menulis berita dengan tulisan tangan. Laporan Lita menjadi berita utama program jurnalisme warga yang disiarkan RRI Wamena dengan bertajuk “Lintas Berita Pegunungan Tengah”.

Kepala Sekolah yang tak tuntas mendengar siaran RRI berang dan menghukum Lita keesokan harinya, “Itu mana jurnalis warga? Berlutut di depan situ!” Lita mengacungkan jari telunjuk dan mengakuinya. Dia berlutut selama 30 menit di hadapan teman-teman sekolahnya. 

Dia tertunduk diam dan merekam kemarahan Kepala Sekolah diingatannya, “Kalau kerja,…kerja saja, jangan sekolah. Saya punya keluarga di RRI, berita dimuat tidak bisa sembarangan masuk di RRI”.

Teman-teman sekolahnya tertawa terbahak dan mengejeknya berulang-ulang, “Karena mau dapat uang, kasih berita di RRI”. Kenyataannya, Lita membuat berita dengan jujur, tidak melanggar etika jurnalistik dan sukarela, tidak menerima imbalan uang.

Sungguh diluar dugaan Lita, beritanya yang mengkritik ketidakdisiplinan siswa-siswi di sekolah berdampak bullying— sekaligus menggemparkan media sosial, media nasional hingga media asing, seperti BBC ikut mewawancarainya. Lita menulis berita dari wawancara dengan guru bahasa Indonesia itu menuai reaksi protes (bullying) sekaligus dukungan moral.

Munculnya kasus Lita, sekolah merumuskan cara menghukum anak-anak didik yang bersalah– tidak dengan cara kekerasan, tapi menerapkan kedisiplinan. Lita tetap kukuh pada pendiriannya, “Saya tidak bersalah!” Sungguh peristiwa yang luar biasa, berbagai pihak melakukan mediasi agar kasus Lita diselesaikan, sebut saja: Sekda Jayawijaya, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Yayasan Sekolah, Komite Sekolah dan Pater Johanes Jongga sebagai wali Lita.

Meski mengalami bullying disekolah, Lita tidak menyimpan dendam dihatinya. Lita tetap anak yang riang dan gemar membaca buku cerita bergambar (komik). Sejak kasus itu membelitnya, Lita bingung menentukan cita-citanya kelak, menjadi polisi atau biarawati. “Mungkin polisi saja, mau jadi dokter takut lihat darah, “ujarnya sambil melahap telur ceplok yang digorengnya sendiri. “Sekarang baku lewat saja, tidak sapa (Kepala Sekolah), “sergah Lita. 

Sayangnya, SMP YPPK St. Thomas tidak memberikan ruang berekspresi untuk anak-anak yang aktif dan kreatif seperti Lita. Tidak ada majalah dinding di sekolah. Lita pun memilih aktivitas diluar sekolah, menulis berita dan menyuarakan kritiknya melalui siaran RRI. “Saya banyak belajar jurnalisme warga, “kata Lita. Faktanya, ketidakdisiplinan menjadi persoalan pelik di sekolah ini. Bahkan sekolah pernah kecurian 15 komputer, dan para pelakunya merupakan alumni sekolah ini.

Sampai sekarang, Lita tetap semangat menjadi jurnalis warga, meski sedang kering gagasan. Butuh waktu bagi Lita untuk jeda sejenak dari persoalan yang membelitnya. “Kalau sama teman-teman kesal, tapi mereka sudah minta maaf, “jelas Lita.