Jurnalis Warga Carztens Suarakan Layanan Kesehatan

Nurmala Kahar, jurnalis warga Carztens yang sehari-hari bekerja sebagai bidan Puskesmas Kota Timika sibuk menyiapkan proses akreditasi, terutama administrasinya. Di wilayah Papua terdapat dua puskesmas yang memenuhi syarat dan akan mendapat akreditasi yaitu, Puskesmas Kota Timika dan Puskesmas Timika Jaya.

Di pertengahan Desember 2017, langit mendung dan kota Timika terus diguyur hujan lebat. Temperatur rata-rata di wilayahh ini antara 25,2 derajat celcius hingga 27,3 derajat celcius. Kabupaten Mimika memiliki luas daratan mencapai 21.693.51 km2.  Pada tahun lalu, curah hujan per tahun terjadi selama 326 hari. Tingginya curah hujan di Timika sangat bermanfaat bagi masyarakat, karena air digunakan untuk kebutuhan air minum.

Tak ayal, Mimika merupakan wilayah yang memiliki keragaman potensi sumberdaya alam dan tanahnya subur [1]. Secara geografis, 4,73 persen dari luas wilayah Provinsi Papua ini– terdiri dari 18 distrik yang tersebar di berbagai tempat. Kabupaten ini memiliki topografi dari dataran tinggi, dataran rendah dan berbatasan dengan laut. 

Persentase penduduk kabupaten Mimika mencapai 205.591 jiwa, yang terdiri dari 115.309 jiwa laki-laki dan 90.282 jiwa perempuan. Rendahnya kesadaran akan kesehatan terutama kaum ibu, membuat Puskesmas Kota Timika terus melakukan edukasi. Puskesmas menjadi tumpuan bagi warga yang membutuhkan pengobatan. 

Nurmala Kahar sangat memahami situasi itu. Dia bergabung dalam forum peduli sehat. Dalam forum itu jurnalis warga bergerak melaporkan setiap persoalan kesehatan warga Timika. “Kami diskusikan pelayanan kesehatan, keluhan pasien dan isu-isu lainnya, “terang Nurmala.

Dia menulis laporan soal kesenjangan yang terjadi, pasien mengantri terlalu lama untuk berobat. Dengan menulis berita, Nurmala tidak saja menjadikan isu lambatnya pelayanan kesehatan sebagai topik utama—namun sekaligus mencari solusi terbaik dan dibahas bersama-sama dalam forum.

Sebelum jurnalis warga menulis, belum ada layanan pengaduan di puskesmas. Setelah jurnalis warga membuat laporan, sekarang puskesmas memiliki layanan pengaduan dan tim yang menangani. Bahkan puskesmas bergerak lebih jauh, tidak hanya menangani kasus kesehatan tetapi juga kasus KDRT. Kekerasan domestik rumahtangga di Timika merupakan isu sensitif yang tabu dibicarakan. “Maklum budaya kolot, “ujar Nurmala. 

1. https://www.bps.go.id

Awalnya, bidan puskesmas yang mengidentifikasi pasien perempuan sebagai korban kekerasan rumahtangga. “Saya pernah menangani pasien ibu hamil yang matanya bengkak biru, dengan alasan terkena benturan benda keras. Setelah digali-gali, ternyata dia menjadi korban KDRT dan mulai mau bercerita. Suami yang memukulnya. Setelah itu, dia diperiksa dan diarahkan ke bagian konseling, “jelas perempuan asal Ternate, Maluku Utara ini.

Dengan pendekatan empati, para perempuan yang menjadi korban KDRT mulai bersuara. Mengapa kejadian itu menimpa mereka? Kekerasan domestik biasanya dipicu oleh perilaku minus para suami yang gemar mabuk atau minum minuman beralkohol, hingga suami ingin melakukan poligami. Sesungguhnya, angka KDRT di Timika sangat tinggi.

“Para pasien (korban) ini kami anggap seperti keluarga sendiri, “ujar Nurmala. Tidak hanya menangani ibu-ibu yang menjadi korban KDRT, puskesmas juga melakukan pendampingan terhadap anak-anak yang menjadi korban kekerasan di keluarganya—bahkan anak-anak yang diterlantarkan. “Kami masih menggunakan catatan manual untuk mendata, “jelasnya.

Nurmala mulai mencatat nama korban, luka yang dialami dan alasan kekerasan itu dilakukan. Selain itu, puskesmas juga menangani penderita HIV/AIDS yang jumlahnya semakin besar di wilayah Timika. Bahkan puskesmas sudah memiliki fasilitas VCT, semacam klinik untuk pemeriksaan pasien HIV/AIDS. “Paling tinggi angka HIV/AIDS terjadi di Mimika, “ujar Nurmala.

Dia terus membuat laporan dan melakukan pendekatan agar ibu hamil mau memeriksakan kandungannya secara rutin. Ibu hamil di Timika kurang kesadaran untuk memeriksakan kesehatannya, karena sibuk urusan rumahtangga. “Ada yang berpendapat, perempuan hamil dapat melahirkan sendiri, “ujarnya. Edukasi kepada ibu-ibu kampung dilakukan jejaring jurnalis warga Carztens—melalui posyandu, bidan desa hingga kelurahan.

Ada sistem jemput bola, bidan desa melakukan pendataan dan mencari tahu kondisi ibu hamil dan membuat laporannya. Posyandu juga terlibat turun langsung ke lapangan. Desa-desa yang dikunjungi seperti; Mapurujaya, Limau Asri dan desa-desa lainnya.

Bagi Nurmala sangat menyenangkan menulis berita dengan metode 5W+1H, dan manfaatnya terbukti dapat membantu menyuarakan persoalan pasien. Selain dia mendapat pengetahuan baru dan melatih disiplin menulis. Artikel Nurmala sering diunggah di grup Facebook, selain dimuat oleh media cetak seperti Timika Expres, Radar Timika dan Radio Komunitas.

Kini, Timika ibarat rumahnya sendiri. Dulu, dia tumbuh di Ternate dan menjadi bidan di pulau-pulau kecil di kepulauan Maluku bagian utara itu. “Sejak tahun 1997, saya bekerja di Timika—sekaligus ikut suami, “ujarnya. Nurmala sangat tanggap dengan keluhan pasien agar pelayanan kesehatan terus diperbaiki. “Dulu pasien ingin cepat dilayani, cepat pulang dan semua mau ditangani duluan. “keluh Nurmala.

Tapi sejak diberlakukan sistem Triase dengan memilah-milah pasien berdasarkan sakit ringan, sakit sedang dan sakit berat. Pekerjaan menjadi lebih ringan bagi Nurmala. Tidak mudah melayani kesehatan  warga Timika yang mencapai 300-400. Sungguh perjuangan yang tanpa henti dilakukan Nurmala dan puskesmas, tempatnya bekerja yang berlokasi di Distrik Mimika Baru.

Belum lagi, dihadapkan pada persoalan terbatasnya jumlah dokter spesialis dan petugas analis. Tapi puskesmas sudah memiliki delapan dokter dan IGD buka selama 24 jam. Bahkan tersedia obat-obatan dan tenaga kesehatan lainnya seperti perawat dan bidan. “Beban puskesmas juga akan semakin berat nantinya, “ujar Nurmala.