Disinformasi Hambat Vaksinasi COVID-19, Media Komunitas Jadi Solusi  

Misinformasi dan disinformasi menjadi salah satu penghambat pelaksanaan vaksinasi COVID-19 pada komunitas rentan di sejumlah wilayah di Indonesia. Selain itu tidak tersedianya media sosialisasi yang tepat memperbesar hambatan tersebut. 

Temuan ini muncul dalam asesmen yang dilakukan Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN) di 12 kota/kabupaten di Indonesia yang memiliki tingkat vaksinasi rendah hingga menengah. Ke-12 kota/kabupaten tersebut adalah Banda Aceh, Aceh Besar, Maros, Bulukumba, Balikpapan, Deli Serdang, Kupang, Sikka, Jayapura, Jaya Wijaya, Yahukimo, dan Nabire. 

Misinformasi dan disinformasi yang beredar membuat masyarakat memiliki pemahaman yang keliru tentang vaksinasi, bahkan membuat masyarakat menjadi takut dan khawatir bahkan menolak untuk divaksin. Berbagai berita seperti hoax seperti ada “chip” dalam vaksin, vaksinasi membuat tambah sakit, vaksin hanya memperpendek umur, COVID-19 adalah konspirasi global, terkonfirmasi dan dinyatakan oleh informan. 

Di Kabupaten Maros bahkan beredar luas hoax jika anak tidak divaksin, maka raportnya tidak akan diberikan; selain yang bersangkutan tidak lulus dan tidak diterima di sekolah lanjutan (SMP). 

PPMN melakukan asesmen ini untuk memetakan berbagai masalah yang menghambat vaksinasi terutama di kelompok rentan dan merumuskan strategi program komunikasi yang tepat guna membantu mendorong efektivitas program sosialisasi COVID-19 dan vaksinasi di tingkat komunitas melalui jurnalisme warga.

Foto Bersama dengan peserta sesudah pelaksanaan FGD di Sentani, Jayapura, 17 Februari 2022
Foto Bersama dengan peserta sesudah pelaksanaan FGD di Sentani, Jayapura, 17 Februari 2022

 

 

Menggunakan studi kualitatif melalui metode diskusi kelompok terpumpun (focused-group discussion/FGD) dan wawancara mendalam (indepth-interview), asesmen yang melibatkan fasilitator dan para peneliti lokal jaringan LP3ES serta koordinator jurnalis warga PPMN ini dilakukan sepanjang 14 Februari hingga 5 Maret 2022. 

Hasil studi menunjukkan, sejumlah faktor turut menghambat sosialisasi kampanye vaksin COVID-19 dan program vaksinasi. Selain mis/disinformasi, salah satu faktor penghambat adalah  pendekatan “insentif” yang memaksa melalui sertifikat vaksin sebagai syarat perjalanan dan pencairan bantuan sosial BLT/PKH. Meski “insentif” diini dipandang relatif efektif dalam turut mendongkrak capaian vaksinasi, namun tidak memberikan edukasi tentang perlunya vaksinasi sebagai kebutuhan untuk hidup sehat di tengah wabah. Hal ini terkonfirmasi capaian vaksin wajib tahap pertama dan kedua berbanding terbalik dengan vaksinasi booster yang sifatnya sukarela. 

Faktor penghambat lain adanya persepsi yang keliru di sebagian warga masyarakat tentang vaksin, tidak tersedianya media sosialisasi yang cukup untuk dapat diakses oleh penyandang disabilitas, maraknya hoax dan disinformasi tentang vaksinasi, domestifikasi perempuan yang tidak membutuhkan vaksin, keterbatasan akses teknologi, informasi dan komunikasi (TIK) di wilayah pedalaman seperti kawasan adat, serta adanya keyakinan bahwa COVID-19 sama dengan penyakit lainnya yang bisa diobati dengan ramuan tradisonal dan ritual adat. 

Penolakan Terhadap TNI/Polri

Di Papua, hambatan vaksinasi muncul bukan semata dari penyebaran mis/disinformasi maupun akses fasilitas kesehatan yang sulit, tapi juga penolakan masyarakat, terutama di wilayah pegunungan, terhadap layanan vaksinasi yang diselenggarakan oleh pihak TNI/Polri. Ketegangan politik yang sering muncul di Papua, membuat TNI/Polri kerapkali masih dipandang sebagai “momok” oleh masyarakat.

Selain itu, rendahnya pengetahuan masyarakat terkait kegunaan vaksin; dimana vaksin dianggap hanya berlaku bagi orang luar karena domestikasi orang asli Papua/OAP yang cenderung tidak berpergian, membuat program vaksinasi di Papua terkendala. Masih banyak warga Papua yang beranggapan bahwa ”Corona tidak ada di kampung” dan atau ”penyakit Corona hanya untuk rambut lurus”.

Hambatan lainnya, yang terlihat di 12 kota/kabupaten, adalah kegiatan sosialiasi vaksin yang cenderung bersifat satu arah: pesan untuk mengikuti program vaksinasi, jadual vaksinasi, dan sebagainya yang ditujukan untuk masyarakat umum. Sosialisasi yang lebih edukatif dengan informasi lebih spesifik untuk menyasar kelompok rentan masih belum banyak dilakukan. 

Selain memetakan sejumlah hambatan, studi ini juga berhasil mengambarkan sejumlah aktor kunci yang diyakini mampu mengakselarasi program vaksinasi terutama yang ditujukam terhadap kelompok rentan. Mereka terdiri atas tokoh-tokoh agama, tokoh adat, tokoh pemerintahan, pegiat masyarakat, tokoh-tokoh pemerintahan, pendamping disabilitas, selebgram, akademisi kampus, bahkan jejaring politisi. 

Beberapa saluran komunikasi yang diyakini mudah diakses oleh kelompok rentan adalah melalui media TV nasional yang menggunakan penterjemah bahasa isyarat, saluran radio,dan  tayangan video. Selain itu, poster edukasi dan testimoni manfaat vaksinasi melalui media sosial (whatsapp grup, instagram, dan facebook) dan saluran komunikasi media warga juga dipandang efektif sebagai kanal penyampaian pesan. Tentu saja selain moda pertemuan langsung di tingkat komunitas. 

Studi juga berhasil mengumpulkan pesan atau informasi kunci yang efektif untuk sosialisasi vaksin. Selain disampaikan dalam Bahasa Indonesia, pesan-pesan berbahasa lokal juga sangat disarankan karena tidak semua masyarakat –terutama yang tergolong kelompok rentan seperti tinggal di sekitar hutan, kelompok lansia dan penyandang disabilitas, tidak selalu cakap Bahasa Indonesia dengan baik karena tingkat pendidikan yang rendah. Dengan menggunakan Bahasa lokal setempat masyarakat merasa seperti dirangkul dan mereka akan lebih percaya kepada informasi yang disampaikan. 

Berdasarkan sejumlah temuan tersebut,  studi ini merekomendasikan: Pertama, perlunya mengubah pendekatan “insentif memaksa” menjadi pendekatan edukatif untuk membangun kesadaran masyarakat. Kedua, meningkatkan kegiatan sosialisasi dan edukasi vaksin yang smooth bahwa vaksinasi sangat penting bagi peningkatan imunitas agar daya tahan tubuh lebih kuat dalam menghadapi pandemi COVID-19 dengan sasaran utama kelompok rentan. Ketiga, meningkatkan kapasitas dan kerjasama jurnalistik untuk pemberitaan yang lebih humanis tentang vaksinasi dalam rangka memperbanyak liputan dengan tone positif, termasuk meningkatkan coverage liputan kegiatan pelaksanaan vaksinasi yang diinisiasi oleh komunitas masyarakat. Keempat, meningkatkan literasi digital dalam penggunaan sosial media bagi kelompok rentan. Kelima, meningkatkan keterlibatan tokoh-tokoh informal dalam kegiatan sosialisasi dan edukasi vaksin termasuk pendamping disabilitas, selebgram dan akademisi kampus. Keenam, memperbanyak konten dalam bentuk audio untuk disiarkan di radio, membuat tayangan-tayangan video dan poster edukasi dan testimoni manfaat vaksinasi melalui media sosial termasuk mengoptimalkan pertemuan komunitas sebagai media sosialisasi dan edukasi melalui komunikasi dari mulut ke mulut. Ketujuh, pentingnya menyasar ”logika” common-sense masyarakat dengan muatan-muatan pesan yang logis dan realistis tentang vaksinasi. Pesan yang disampaikan dalam bahasa lokal diharapkan mampu menjangkau kelompok rentan terutama yang berada di pedesaan. 

Menindaklanjuti rekomendasi tersebut, PPMN pun memperkuat komunitas jurnalis warga di ke-12 kota/kabupaten tersebut. Selain memproduksi konten tentang vaksinasi dengan menggunakan bahasa lokal yang didistribusikan melalui media komunitas dan media sosial, komunitas jurnalis warga juga bekerja sama dengan media lokal setempat untuk mengampanyekan vaksinasi melalui sejumlah diskusi publikasi dan produksi iklan layanan masyarakat. ***