Mempertahankan Jurnalisme Lewat Inovasi Model Bisnis

Jakarta, PPMN.or.id – Berbagai industri di dunia terdampak akibat pandemi COVID-19, termasuk industri media massa. Perusahaan media harus menyiasati keadaan, mulai dari  merumahkan karyawan,  memutus hubungan kerja alias PHK, hingga menutup sama sekali operasional perusahaan.

“Sudah jatuh tertimpa tangga, terus terlindas mobil lewat,“ ungkap Pemimpin Redaksi Suara.com, Suwarjono, mengibaratkan kondisi media saat ini dalam acara webinar dengan topik “Model Bisnis Media di Tengah Pandemi” yang diselenggarakan oleh Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) pada  Kamis, 18 Februari 2021.

Tampil sebagai narasumber lain dalam webinar yang diselenggarakan sebagai  rangkaian HUT AJI adalah Redaktur Pelaksana Harian Kompas, Adi Prinantyo dan Direktur Eksekutif Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN), Eni Mulia.

Diskusi ini digelar dengan tujuan merumuskan persoalan yang dihadapi media arus utama akibat pandemi COVID-19 dan mencari solusi terbaik untuk menjaga keberlangsungannya.

Suwarjono yang juga pengurus Aliansi Media Siber Indonesia (AMSI) menyebutkan disrupsi informasi dan pandemi membuat  bisnis media terpuruk, budget iklan turun,  aktivitas liputan lebih berisiko, dan berubahnya model revenue stream. Survei AMSI yang dirilis April 2020 menunjukkan para pemilik media memutuskan memotong gaji karyawan, mengurangi jumlah karyawan, hingga menutup outlet berita sebagai dampak dari pandemi.

Peningkatan traffic pembaca di media online selama pandemi tidak berjalan seiring dengan kenaikan pendapatan. “Ada ketidaksiapan monetisasi, sehingga perlu update berbagai model monetisasi media online,” ungkap Suwarjono. Menurutnya, perusahaan media harus mencoba berbagai inovasi model bisnis, bukan  hanya melulu bergantung pada iklan, tapi bisa menjajal crowdfunding, community content creator, services, hingga koperasi.

“Suara.com sendiri masih mengandalkan revenue dari direct selling. Namun juga ada iklan programatik yang tren pada dua tahun terakhir,” ungkapnya.

Adi Prinantyo dari Kompas menyetujui pendapat Suwarjono terkait alternatif sumber revenue bagi perusahaan media. Ia mencontohkan bagaimana harian Kompas  menjadikan website Kompas.id sebagai website berbayar guna menopang revenue Kompas. Hasilnya, meski tiras Kompas cetak menurun, Kompas.id masih tetap bisa mempertahankan “pelanggan loyal” dan meraup pelanggan berbayar di Kompas.id  sebesar 288.000.

Menurut Adi, asal media bisa mempertahankan produksi jurnalisme berkualitas, maka media masih bisa bertahan hidup apa pun platformnya. Ia juga menepis anggapan bahwa berita serius kurang diminati pembaca muda. “Menurut survei Litbang Kompas, banyak pembaca muda yang membaca berita politik dan opini,” jelasnya.

Media Nirlaba

Eni Mulia dari PPMN yang menyampaikan materi tentang fundraising media nirlaba di tengah pandemi COVID-19 menyodorkan fakta bahwa di tengah kesulitan justru terbuka peluang bagi media non profit, kendati belum begitu populer di Indonesia.

“Yang menarik adalah makin banyak media non profit berdiri pada 2018-2019. Tidak pernah sebanyak ini sejak 2008-2009. Tahun ini lebih banyak 10 dari tahun lalu dan lebih berfokus pada pemberitaan lokal,” paparnya, mengutip data dari Nieman Lab, Juni 2020. Media nonprofit tersebut diantaranya adalah ProPublica, National Public Radio (NPR), The International Consortium of Investigative Journalists (ICIJ), The Reporter, Malaysiakini dan lain-lain. Sementara di Indonesia ada Bale Bengong, The Conversation dan Jaring.id.

Eni menambahkan, masih di Amerika, Institute for Nonprofit News (INN) mengeluarkan indeks 2020 yang menyebut bahwa sektor jurnalisme nirlaba memasuki masa krisis pandemi COVID-19 dengan kondisi finansial yang stabil, bertumbuh dan hubungan dengan audiens juga berkembang baik hingga dapat memperkuat keterlibatan publik bahkan di saat krisis.

“Jurnalisme nirlaba di AS terus berkembang selama 2019, mencapai nilai bisnis hingga US$500 juta mempekerjakan 3.500 orang di antaranya 2.300 jurnalis. Untuk pertama kali tahun ini media nirlaba melaporkan bahwa pendanaan yayasan menyumbang kurang 50 persen pendapatan tahunan mereka. Lembaga nonprofit terus mendiversifikasi sumber pendapatan mereka, terutama dengan memanfaatkan donasi individu,” tambahnya.

Terkait pendanaan, ada beberapa peluang donor untuk media nirlaba di antaranya adalah National Geografic, Pulitzer Center, Internews, International Women Fund bagi jurnalis perempuan yang hendak membuat liputan bersama.

Optimis

Ketiga pembicara optimis bahwa jurnalisme dan media masih akan bertahan, hanya model bisnisnya yang berubah. Disebut bahwa Kompas dan Tempo memiliki komunitas pembaca kuat akan bertahan dengan sistem berlangganan. Tapi menghadapi tantangan besar, media langganan atau online berbayar memang tidak populer.

“Selalu ada peluang baru, misal Suara.com sedang collabs dengan influencer youtuber. Beberapa brand senang karena ada kolaborasi antarmedia dan influencer. Selalu ada jalan baru yang kita temukan,” ungkap Suwarjono.

Merespons pertanyaan peserta apakah solusi terbaik untuk bisa eksis di tengah pandemi, Adi menyebut salah satunya adalah dengan tetap mempertahankan brand. “Bahwa media arus utama ini media yang bisa dipercaya. Harus menjadi upaya yang tidak boleh terlewat. Sekali tidak percaya pada brand, maka orang akan distrust dan menyamakan dengan berita hoaks,” terangnya.

Sementara itu, untuk media nirlaba di Indonesia, Eni menyatakan bahwa peluang masih terbuka lebar. “Publik mencari produk media nirlaba yang baik. Tantangannya adalah baru sedikit media nirlaba di Indonesia. Kesempatan banyak, tantangan besar. Perlu sinergi dan berkolaborasi untuk peningkatan kapasitas. Kalau ada sinergi dan kolaborasi di antara kita akan sangat baik,” paparnya. Ia juga mengingatkan bahwa media nirlaba tak bisa bergantung penuh pada donor.

“Kita harus kreatif menghasilkan revenue tidak hanya dari lembaga donor, tapi bisa dari mengakses donasi pribadi dan crowdsourcing dana dari publik untuk liputan tertentu,” pungkasnya.  (Lilik HS)