Tides, Selalu Ada Harapan

Aristides Katoppo adalah provokator harapan. Ringan mengulur tangan, tak peduli  tudingan berpihak, berpikir melampaui zaman. Baginya, Sinar Harapan bukan sekadar media.

Aristides Katoppo menggebrak meja di depannya, suatu hari di pertengahan tahun 2003. Koran sore Sinar Harapan yang baru selesai cetak terhampar di depannya.

“Ini berita apa?!,” teriaknya.

Saya di depannya, terlonjak, sedikit pucat.

Headline Sinar Harapan hari itu bicara tentang  konflik Aceh. Saya merasa semua pihak sudah diwawancarai secara berimbang dan adil. Tapi bagi Tides, kami memberi  ruang terlalu besar pada TNI, pejabat pemerintah, serta Gerakan Aceh Merdeka (GAM), dan  melupakan porsi perempuan dan anak-anak yang merupakan korban utama konflik Aceh.

Tides ingin jurnalis Sinar Harapan menggunakan pendekatan jurnalisme damai dalam liputan konflik, meski ia tak menyebut eksplisit. Sebuah pendekatan yang lebih fokus pada  penelusuran  akar masalah serta memberi ruang semua pihak untuk bersuara.

Itu sebab ia bersikukuh mempertahankan motto Sinar Harapan:  “Memperjuangkan Kemerdekaan dan Keadilan, Kebenaran dan Perdamaian berdasarkan Kasih” saat harian tersebut terbit kembali pada Juli 2001.

Adalah Hendrikus Gerardus Rorimpandey, pendiri sekaligus pemegang lisensi Sinar Harapan, yang mengajak lelaki kelahiran Tomohon, 14 Maret 1938 itu untuk menerbitkan kembali Sinar Harapan setelah Soeharto terguling. Bagi Rorimpandey, Sinar Harapan harus terbit kembali untuk menunjukkan kepada publik bahwa Sinar Harapan tidak pernah bersalah. Saat dibreidel tahun 1986, Tides adalah pemimpin redaksi di harian tersebut.

Tides menyambut ajakan Rorimpandey. Ia yang saat itu tengah ada di Amerika memutuskan pulang ke Tanah Air dan siap memimpin kembali Sinar Harapan.

Namun memimpin sebuah koran sore di era yang sudah berubah, bukan hal mudah. Tides  kerap disalahpahami sebagai sosok konservatif. Padahal ia berpikir melampaui zaman. Saat yang lain sibuk memikirkan perubahan kemasan Sinar Harapan agar bisa bersaing di era digital, Tides mengkhawatirkan hal lebih besar, yakni masa depan jurnalisme. Bagi Tides, medium pembawa berita bisa berubah, tapi jurnalisme tak boleh mati.

Saat akhirnya harian Sinar Harapan tutup pada 31 Desember 2015, Tides menolak padam harapan. Ia “memprovokasi” banyak orang untuk membangun  media yang pendanaannya tidak tergantung pada 1-2 investor, tapi berasal dari sumbangan publik, dengan sajian berita yang lebih mendalam. Sesuatu yang ia anggap sebagai solusi untuk melawan matinya jurnalisme di era digital. Sayang, hingga ia menutup mata pada 29 September 2019, media yang ia impikan belum terealisir. Setidaknya media dengan nama Sinar Harapan.

Namun di tempat-tempat  lain, mimpi Tides telah menjadi percik-percik harapan. Sejumlah media nonprofit kini mulai bermunculan di Indonesia, dan sejumlah inisiatif untuk mempertahankan jurnalisme dilakukan oleh banyak kalangan lewat kerja-kerja kolaborasi.

Hal lain yang menggelisahkan Tides adalah prediksi balkanisasi Indonesia. Konflik antaretnis maupun antaragama yang meletup menjelang dan setelah kejatuhan Soeharto, membuat banyak kalangan memprediksi Indonesia akan porak-poranda seperti negara-negara di Semenanjung Balkan. Sebuah forum internasional yang digelar di Hawai pascakejatuhan Soeharto, dimana Tides hadir,  juga memprediksi hal sama. Tides, di forum itu,  menolak prediksi ini.  

Maka mulailah ia, dengan menggunakan seluruh jaringan yang dimiliki, mencoba mempertemukan tiga sektor yang kerap berseteru: pemerintah, kalangan bisnis, dan masyarakat sipil. Inisiatif ini dijalankan di bawah Yayasan Upaya Indonesia Damai. Tidak semua orang mendukung. Tapi Tides jalan terus. Bagi Tides, lebih baik melakukan hal kecil yang bisa menyalakan harapan, daripada terus menerus mengutuki kegelapan.

Tapi menyalakan harapan adalah tugas yang membutuhkan banyak energi. Sesekali Tides tampak kelelahan. Jika itu terjadi maka biasanya ia akan melarikan diri ke gunung, pun di usianya yang tak lagi muda.

Sembilan hari sebelum ia meninggal, di tengah gaduh situasi politik Indonesia, ia memutuskan pergi ke Semeru. Ia sempat menginap di Ranu Pani, dan menjajal trekking pendek dari Ranu Pani ke Ranu Regulo meskipun jalannya sudah ditopang tongkat.

Salah satu sahabat Tides, Djoni Noor, berkisah bahwa Tides tampak sangat bahagia di hari-hari itu. Perjalanan ke Semeru adalah juga bagian dari mengenang 50 tahun meninggalnya Soe Hok Gie, sahabat lamanya.

Tak ada yang menyangka bahwa lima hari sepulang dari Semeru, Tides menyusul Hok Gie ke keabadian. ***

 

*Obituari ini diterbitkan juga di Majalah Tempo edisi 5 Oktober 2019

Fransisca Ria Susanti,

Deputi Program Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara

Jurnalis Sinar Harapan (2001 – 2015)